Jumat, 09 Desember 2011

IGD (Internal Group Discussion) ke-2


Bidang Penalaran dan Keilmuan HIMESBANG FE UNSOED 2011
Feat. Bidang Advokasi dan Eksternal 2011.
Kelompok Karya Tulis Ilmiah (Bid.Penelitian 2011) 2011.

Moderator                              :
Staf Bidang Penalaran dan Keilmuan 2011

PELUANG DAN HAMBATAN YANG DIMILIKI INDONESIA DALAM MEA
Tantangan paling sulit dalam menyongsong MEA adalah memperkirakan bagaimana MEA akan mempengaruhi perekonomian negara-negara di dalamnya. Kajian tentang hal ini sangat perlu dilakukan, karena dengan mengetahui perkiraan dampak yang akan terjadi, Pemerintah dan semua unsur bangsa dapat merumuskan langkah-langkah strategis yang harus diambil agar dapat menuai manfaat optimal dari integrasi yang akan terjadi. Ada aspek dalam kajian dampak integrasi yang mampu dijawab dengan menggunakan kajian empiris, namun sejumlah aspek, seperti mobilitas faktor produksi intra ASEAN dan dampaknya pada pembagian kue ekonomi antar anggota ASEAN, akan coba dijawab secara konseptual teoritis.
·         Dampak terhadap Perdagangan Barang
Pengukuran dampak ekonomi dari suatu integrasi ekonomi merupakan topik yang banyak menyita perhatian dan sejauh ini telah cukup banyak dilakukan. Terkait dengan MEA, meskipun perwujudannya direncanakan baru akan tercapaisepenuhnya pada 2015, pengukuran dampaknya telah dapat dilakukan mengingat kesepakatan penurunan tarif telah mulai dilakukan pascapenandatanganan AFTA 1992 (yang termuat dalam Common Effective Preferential Tariff - CEPT). Sejauh ini, terdapat dua pendekatan utama dalam melakukan kajian empiris terhadap dampak ekonomi tersebut, yaitu:
1)      Pendekatan ex-ante, yang menggunakan parsial atau  general equilibrium model, seperti yang dilakukan oleh Imada et al. (1991), Adams and Par (1995), dan DeRosa (1995)
2)      Pendekatan ex-post, dengan menggunakan Metode Gravitasi, seperti yang dilakukan oleh Hamilton and Winters (1992), Frankel (1993), Sharma and Chua (2000), dan Endoh (1999, 2000).
Penggunaan Model Gravitasi pertama kali dipelopori oleh Tinbergen (1962) dan Pöyhönen (1963), untuk menganalisis arus perdagangan bilateral antara dua kesatuan geografis yang berbeda. Selanjutnya Frankel (1997) berusaha mengungkap dampak integrasi regional dengan memasukkan variabel  dummy  perjanjian internasional dalam persamaan umum model gravitasi.
Studi yang dilakukan menggunakan data  lima negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand) periode 1989- 2006 menunjukkan bahwa selain GDP per kapita 2006 menunjukkan bahwa selain GDP per kapita 2006 menunjukkan bahwa selain GDP per kapita  dari negara-negara, perjanjian AFTA  (sebagai cikal bakal MEA 2015) merupakan salah satu faktor  yang berperan dalam perdagangan intra ASEAN.
·         Dampak Terhadap Investasi, Pertum-buhan dan Kemiskinan
Integrasi ekonomi akan mendorong  masuknya investasi, yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan, dan pada akhirnya
dapat menurunkan tingkat kemiskinan.  Integrasi mau tidak mau akan memaksa setiap pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing apabila masih ingin bertahan di pasar. Restrukturisasi industri akan terjadi, sehingga pada akhirnya akan tercipta struktur industri yang lebih sehat. Bukti empiris dari hal ini dapat ditemukan di kawasan Uni Eropa, dimana struktur industri kawasan tersebut periode pascaintegrasi ditandai dengan jumlah perusahaan yang lebih sedikit, namun lebih besar dan lebih efisien. Kondisi ini pada akhirnya akan menciptakan atmosfer yang memacu masuknya FDI yang selanjutnya akan membantu menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan teknologi, penciptaan lapangan kerja,pembangunan sumber daya manusia (human capital) dan akses yang lebih luas ke pasar dunia. Melalui efek terhadap pertumbuhan ekonomi ini FDI selanjutnya dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.  FDI dapat juga
membantu meningkatkan pendapatan pemerintah, yang dapat digunakan untuk membiayai jaring pengaman sosial untuk kaum miskin, melalui kontribusi pajak dan secara tidak langsung dengan menstimulasi pertumbuhan dan memperluas wajib pajak (tax base).  Sebagai tambahan, FDI dapat secara instrumental mendekatkan jasa-jasa infrastruktur ke golongan miskin. Sebagai contoh, investor-investor asing di telekomunikasi, listrik dan sumber daya air, melalui kemitraan build-operate-transfer  (BOT) atau skema  public-private,  telah memberikan jasa-jasa yang lebih baik ke jutaan rumah tangga, termasuk golongan miskin. FDI dapat berpengaruh pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan pada suatu lingkungan yang sehat, yaitu terdapat kesamaan aturan main antara investor asing dan domestik, dan kecukupan infrastruktur fisik dan sosial (Klein, et al. 2001, Mirza 2002).
Untuk negara-negara ASEAN, Jalilian dan
Weiss (2002) menemukan baik  langsung maupun tak langsung antara FDI dan langsung maupun tak langsung antara FDI dan kemiskinan Peningkatan 10% FDI berasosiasi dengan peningkatan pendapatan per kapita sebesar 0,17% dari kaum miskin di ASEAN. Sekitar 40% dari efek pengentasan kemiskinan dari FDI diperoleh melalui pertumbuhan ekonomi, sementara 60% berasal dari akibat langsung
melalui adanya pelatihan tenaga kerja dan pembukaan lapangan kerja bagi kaum miskin. Meskipun demikian, integrasi suatu kawasan dapat pula menghasilkan efek negatif terhadap upaya pengentasan kemiskinan.  .  .  .  . Integrasi dapat menghasilkan pembalikan pengentasan kemiskinan (poverty reduction reversal) melalui dampaknya pada kenaikan harga-harga barang-barang tradables, menyusutnya  lapangan kerja dan upah bagi kaum miskin, serta menurunnya pendapatan pemerintah. Integrasi ekonomi yang lebih luas juga dapat meningkatkan kerentanan kaum miskin, yang utamanya paling sulit untuk melindungi diri dari kejutan-kejutan pendapatan (income shocks), yang disebabkan oleh terbatasnya kepemilikan aset finansial, rendahnya pendidikan dan keterampilan dan ketiadaan akses ke jaring pengaman sosial.





·         Dampak terhadap Kondisi Ketenagakerjaan
Liberalisasi dalam perdagangan barang, jasa, investasi, dan mobilitas faktor produksi tenaga kerja, akan berdampak pada kondisi  ketenagakerjaan. Dampak pada kondisi
ketenagakerjaan ini biasanya menjadi isu yang paling sensitif dalam pembentukan suatu kawasan integrasi ekonomi, seperti yang misalnya dialami oleh Uni Eropa. Secara teoritis, liberalisasi dalam keempat faktor di atas akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, karena akan menciptakan kondisi yang mendorong perusahaan untuk mengalokasikan sumber-sumber daya secara lebih efisien (dampak alokasi). Dihapusnya hambatan dalam mobilitas tenaga kerja akan membuka kesempatan pada para pekerja untuk mencari pekerjaan yang dianggap paling sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Di sisi lai pengusaha juga memperoleh kesempatan untuk mempekerjakan tenaga kerja yang dianggap paling cocok. Peningkatan produktivitas tenaga kerja ini pada akhirnya akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja dan selanjutnya juga menaikkan upah tenaga kerja.
Meskipun demikian, bukti empiris terkait  dengan dampak integrasi ekonomi terhadap kondisi ketenagakerjaan cenderung tidak konklusif. Beberapa isu ketenagakerjaan yang sering muncul terkait dengan integrasi ekonomi suatu kawasan di antaranya adalah :
• Apakah liberalisasi dalam mobilitas tenaga kerja akan memicu migrasi pekerja dari satu negara ke negara lainnya? Terkait dengan ini, apakah Indonesia akan dapat memetik manfaat optimal dari kondisi ini atau justru sebaliknya menjadi pihak yang dirugikan.
• Apakah liberalisasi dalam mobilitas tenaga kerja akan mendorong perbaikan tingkat upah atau malah sebaliknya?
• Apakah liberalisasi dalam mobilitas tenaga kerja akan lebih mendorong penyerapan tenaga kerja terampil (skilled labor) atau yang tidak terampil (unskilled labor)? Pekerja (pada sektor tertentu) dalam suatu negara mendapatkan upah yang lebih tinggi dari upah untuk pekerja pada sektor yang sama di negara lain. Adanya liberalisasi dalam mobilitas tenaga kerja memicu terjadinya migrasi pekerja dari luar ke negara tersebut. Akibat bertambahnya suplai pekerja, terjadi penurunan upah pekerja di sektor tersebut. Hal ini tentu saja merugikan pekerjam dari negara tersebut yang sebelumnya menikmati upah yang lebih tinggi. Namun sebaliknya pengusaha di sektor tersebut menjadi diuntungkan. Keadaan yang sebaliknya terjadi di negara lain. Dengan berpindahnya sebagian pekerja ke negara lain, upah di negara tersebut cenderung akan naik, sehingga menguntungkan pekerja di negara itu, namun merugikan pengusaha. Dengan demikian, migrasi akan selalu memunculkan adanya pihak yang dirugikan dan diuntungkan, namun secara umum kedua negara akan meraih keuntungan.
Penelitian empiris menunjukkan bahwa  integrasi ekonomi bukan merupakan faktor integrasi ekonomi bukan merupakan faktor integrasi ekonomi bukan merupakan faktor dominan dalam menentukan pola migrasi yang  terjadi. Penelitian yang dilakukan terhadap Uni Eropa menunjukkan bahwa kondisi siklus bisnis (business cycle) tetap merupakan faktor utama yang memicu terjadinya migrasi pekerja.
Bagi Indonesia, peluang terjadinya migrasi tenaga kerja ini berpotensi menguntungkan  mengingat tingkat pengangguran di Indonesia yang  relatif paling tinggi dibandingkan negara ASEAN  lainnya.  lainnya. Data statistik tahun 2006 menunjukkan Indonesia bersama Myanmar merupakan Negara pengirim tenaga kerja migran terbesar, masing-masing mengirim 23% dan 27% dari total tenaga kerja migran di ASEAN .

Tidak ada komentar: