Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Juli 2012

MP3EI dan Diplomasi Pangan


Ilustrasi. Foto: Corbis
Ilustrasi. Foto: Corbis
Bulan ini Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) alias rumusan penggerak roda perekonomian nasional yang menjadi andalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) genap berusia satu tahun.

Melalui program ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang pesat bagi Indonesia sehingga pada 2025 diharapkan tercapai target pendapatan per kapita USD14.250-USD15.500 dengan nilai total perekonomian berkisar USD4,0 triliun–USD4,5 triliun.

Saat ini nilai total perekonomian Indonesia ada di kisaran USD770 miliar dengan pendapatan per kapita di kisaran USD3.000. Target-target tersebut digenjot melalui skema yang melibatkan mitra swasta.

Ada 22 jenis kegiatan yang dibidik, mulai dari pertanian, infrastruktur hingga pertambangan. Wilayah Indonesia bagian timur dan Sumatera termasuk yang sangat dipacu pertumbuhannya. Misalnya membangun bandara di Lombok, menetapkan areal seluas 1.200 hektare (ha) di Lombok bagian selatan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Nasional, membangun jalan dan pelabuhan trans-Maluku,serta membangun jalan tol dan jalur kereta api di Sumatera.

Saya ingin membahas MP3EI dalam hal perbaikan ketersediaan pangan. Dalam cetak biru MP3EI, arah yang dituju adalah ketahanan pangan. Dalam arti, Indonesia akan memanfaatkan keunggulannya untuk meningkatkan daya tawar dalam percaturan politik global terkait pangan, yakni dalam hal jumlah penduduk, jumlah orang muda, surplus jumlah penduduk berusia produktif, letak geografis yang strategis, ketergantungan dunia pada arus pelayaran yang melewati Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.

Indonesia diharapkan berperan di tataran regional maupun internasional untuk menjadi lumbung pangan (dan air). Implisit di dalam target tersebut adalah keinginan melakukan swasembada walaupun arahnya bukan menutup diri, melainkan sebagai penyedia pasokan pangan bagi dunia.

Sejauh mata memandang, langkah ke sana belum optimal digarap. Pertama karena pendekatan diplomasi yang ada belum mengarah pada penciptaan gerakan tanam bersama di lahan bumi yang jumlahnya makin terbatas.

Lahan diperlakukan seolah-olah komoditas yang tak ada habisnya. Jika semua negara dibebaskan untuk secara swadaya melakukan pengelolaan lahan secara eksklusif, dalam kurun waktu 20 tahun mendatang sudah akan bermunculan negara-negara yang lebih miskin dari sekarang. Saat ini sejumlah negara seperti China, India, AS secara agresif mencari lahan-lahan subur di seluruh dunia untuk bercocok tanam dan beternak.

Hasilnya langsung diboyong ke negara masing-masing; penduduk setempat yang bercocok tanam dan beternak hanya bisa gigit jari. Kecenderungan saling rebut lahan ini tidak bisa disetop dengan skema-skema kerja sama internasional yang ada sekarang karena yang sekarang digarap adalah kerja sama perdagangan, pembuatan lumbung bersama, larangan proteksi, dan sejenisnya.

Semuanya tidak menyentuh esensi pangan sebagai barang publik (public goods). Karena lahan dan air adalah hak semua umat manusia, sebenarnya penggunaan barang tersebut oleh pihak lain tidak bisa dilarang (non-excludable) dan tidak boleh mengurangi kenikmatan pihak lain ketika menggunakan barang tersebut (non-rivalry). Artinya, perlu ada skema kerja sama multilateral dan regional yang mengarah pada penggunaan bersama lahan dan air untuk pertanian.

Biaya diatur terjangkau karena pemerintah melakukan subsidi melalui skema kerja sama dengan negara lain. Ada pula mekanisme untuk menggentarkan negara lain untuk sekadar numpang enak (free rider) meskipun tentu perlu ada harga khusus bagi negara-negara yang memang kurang mampu.

Artinya bahwa diplomasi perlu dibedakan pendekatannya untuk penyediaan produk pangan primer atau mentah. Beras, tebu, buah-buahan, sayur-mayur, gandum, biji-bijian, misalnya, adalah produk pangan primer yang menjadi hak semua orang di bumi.

Teknologi untuk mengelola kecukupan panen produk ini sebenarnya tidak bisa dipagari dengan hak paten karena pada akhirnya ini menyangkut kecukupan panen bagi sesama manusia. MP3EI perlu memikirkan konsekuensi dari kebutuhan diplomasi produk primer pertanian ini seperti mekanisme menjaga tata ruang dan wilayah dan kontrak pemanfaatan lahan oleh pihak asing. Ini tidak boleh salah langkah dan jelas bukan semata soal penyediaan infrastruktur fisik seperti fokus MP3EI sekarang.

Kedua, diplomasi perlu mengakomodasi masa depan agrobisnis yang cerah dan menggiurkan. Agrobisnis adalah usaha untuk meningkatkan nilai jual produk-produk pertanian melalui pengolahan dan pengembangan forward linkages (bisnis terkait yang berkembang karena ada agrobisnis, misalnya bisnis kargo, pembuatan kemasan, asuransi). Saat ini agrobisnis cenderung dikonotasikan kuno sehingga ditinggalkan oleh generasi muda.

Padahal negara-negara yang populasinya menua tidak punya cukup sumber daya manusia untuk mengolah lahan pertanian. Ke depan, agrobisnis adalah sektor usaha yang sangat menjanjikan. Maklum, permintaan akan produk pangan pasti meningkat terus seiring bertambahnya populasi dunia.

Jadi, ketersediaan pangan sangat bergantung pada kemampuan mengolah produk pangan primer menjadi ragam produk yang sehat, tahan disimpan, bergengsi atau praktis kemasannya, dan bisa dinikmati penduduk dunia di mana pun.

Karenanya ruang agrobisnis perlu digenjot dan bukannya dicekik dengan aturanaturan nonproteksi atau antisubsidi. Pengembangan agrobisnis membutuhkan investasi besar, terutama di bidang penelitian dan pengembangan (R&D).

Saat ini satu investasi bidang R&D untuk produk pangan umumnya baru menghasilkan profit setelah 15 tahun. Bayangkan bila beban ini harus ditanggung oleh sektor swasta saja. Proyek MP3EI perlu memfasilitasi pengembangan R&D ini, lengkap dengan jejaring sektor swasta yang siap mengembangkan hasil-hasil penelitian menjadi produk-produk pangan bernilai jual tinggi.

Ketiga, Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta instansi terkait bidang pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perlu memperbaiki cara komunikasinya agar bisa dipahami dan diterima pelaku agrobisnis dan rakyat biasa.

Penantang kita adalah negara seperti Brasil yang sudah menerapkan 100 persen praktik pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan hidup.

Standar mereka diakui secara internasional, bahkan oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kalau Indonesia masih sekadar defensif ketika dikritik bahwa praktik pertanian atau perkebunannya tidak ramah lingkungan, kita justru akan kehilangan respek dari dunia internasional. Karena fitur Kementerian Negara Lingkungan Hidup memang belum memungkinkannya untuk punya "kaki tangan" sampai ke tingkat komunitas dan kabupaten/kota, pemerintah pusat perlu membuat jembatan melalui instansi pemerintah lain yang punya ”kaki tangan".

Ke depan, pertanian dan perkebunan wajib dikelola secara modern. Dalam banyak hal, arahnya adalah intensifikasi modal. Jadi dibutuhkan pembinaan intensif agar petani (besar maupun kecil) tidak mengambil jalan pintas yang tidak ramah lingkungan.

MP3EI belum punya roh pembaruan sampai ke arah sana. Padahal masuknya pihakpihak baru ke daerah yang jauh dari pengawasan pemerintah pusat akan berisiko tinggi disalahgunakan, apalagi praktik ramah lingkungan tadi belum mengakar. Arah pandang diplomasi pangan kita perlu lebih jauh ke depan.

Taruhan kita adalah diri kita sendiri di masa tua dan generasi anak kita. Bila MP3EI tidak kita manfaatkan secara optimal untuk mengubah cara pandang dunia, swasta, dan komunitas, hasilnya pun tidak akan optimal.

DINNA WISNU
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
SUMBER : okezone.com

MAHASISWA?


MAHASISWA?
Oleh: Herlambang WIbowo
Hanya itukah ilmu mu?
Belajar untuk melempar batu…
Di tengah jembatan kau adu uratmu…
Sesama saudara membunuh tanpa malu…
Hanya itukah ilmu mu?
Meneriakkan kata setia dengan jiwa…
Namun melepasnya dalam sekejap mata…
Dan lihatlah pendahulumu di ’98…
Mereka berdarah….berkorban…
Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…
Dan lihat dirimu…
Yang darahnya tertumpah sia-sia..
Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…
Hai kau di sana!!!!!
Masihkah kau mengaku mahasiswa?!

Food Security


Ilustrasi. (Foto: Corbis)
Ilustrasi. (Foto: Corbis)
Bila dua-tiga bulan lalu bangsa ini heboh membicarakan energy security, sebulan terakhir kita sibuk membicarakan pangan. Food dan energy adalah sebuah kesatuan, apalagi sekarang bahan-bahan pangan mulai dijadikan pengganti energi.

CPO, kedelai, biji bunga matahari, jagung, tebu, ketela, gandum, dan sebagainya kini di dunia mulai dialihkan menjadi bioenergy yang harganya terus melonjak. Kalau harganya terus melonjak, dan sebagian besar tanaman itu bisa ditanam di sini, mengapa justru mengalami kerawanan?

Kalau pertanian Indonesia ingin maju, berikanlah keuntungan yang positif dan harga jual yang bagus bagi produk-produk pertanian Indonesia. Ini berarti, batasi impor dan jangan manjakan konsumen. Tetapi, kita sepertinya ingin mendapatkan keduanya: pertanian maju, tetapi harganya harus murah dan konsumen harus senang.

Surplus, tetapi Miskin
Ketahanan pangan menjadi masalah besar justru di negara-negara Asia, yang menurut Bank Dunia mengalami pengurangan kemiskinan yang signifikan. Menurut FAO (2009), sepanjang 2003-2005 saja terdapat 541,9 juta penduduk Asia yang kekurangan gizi. Mengapa pertumbuhan ekonomi disertai kerawanan pangan? Ambil contoh saja di Thailand dan Vietnam yang mati-matian mengembangkan konsep ketahanan pangan sejak 30 tahun lalu. Di kedua negara ini sektor pertanian mengalami kemajuan sangat pesat.

Berbeda dengan di Pulau Jawa yang lahan-lahan pertaniannya beralih ke properti dan industri, di kedua negara itu lahan-lahan pertanian justru diperluas dan irigasi diperbaiki. Keduanya surplus pangan dalam jumlah besar.Pada tingkatan makro, pertaniannya maju pesat. Namun, pada tingkatan rumah tangga, para petani tetap kesulitan hidup dengan layak dari sektor pertanian. Mereka lebih menjadi net buyeryang hanya bisa membiayai sepersepuluh konsumsinya dari hasil pertanian (Isvilonanda & Bumyasiri, 2009).

Demikianlah, pangan adalah masalah yang sangat serius, semakin kompleks dan butuh perhatian lintas sektoral. Tidak cukup diatasi oleh penghapusan bea masuk seperti yang dilakukan pemerintah terhadap impor kedelai. Pangan adalah masalah ketahanan yang rumit. Konsep pertahanan-keamanan yang dulu berarti tentara dan senjata, kini bergeser ke pangan dan energi. Lihatlah betapa kita kedodoran mengelola ketahanan pangan yang menyangkut apa saja.

Tahun lalu cabai saja sampai menjadi agenda pembicaraan yang hangat di Istana. Lalu dalam perekonomian kita muncul masalah daging sapi, gula, garam, ikan kembung, beras, bahkan bawang merah. Kini kedelai. Sebanyak 150 ribu anggota koperasi tahu-tempe hari-hari ini tengah melakukan aksi mogok ketika harga kedelai melonjak dari Rp5.000 menjadi Rp8.000 per kilogram.
Meski semalam saya masih bisa menikmati tahu-tempe, ada rasa waswas, bukan khawatir kehilangan keduanya, melainkan khawatir anak-anak kita kelak akan kesulitan makan karena negeri ini tak memiliki konsep ketahanan pangan yang jelas.

Semakin Kerdil

Selain data yang sudah banyak dipaparkan para ahli, mari kita membaca insight berikut. Menurut kamus, insight adalah a clear or deep perception of a situation. Atau bisa juga perasaan subjektif yang bisa dibaca dari sebuah situasi. Namanya juga subjektif, jadi bisa terbaca, bisa juga tidak. Bisa terbaca A, bisa juga terbaca B. Tetapi, mari kita renungkan baik-baik,dan coba lebih gunakan insight untuk melihat peluang yang mungkin timbul dari masalah besar ini daripada memperbesar masalah itu sendiri.

Kata orang bijak, bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang bisa melihat kesempatan dari setiap kesulitan. Pemenangnya adalah bangsa yang berani berselancar dalam gelombang ketidakpastian. Sedangkan bangsa yang selalu kalah adalah bangsa pengeluh yang hanya mau menjelajahi dunia yang pasti-pasti, lalu menyalahkan orang lain atas masalah yang ia buat. Bangsa yang demikian akan selalu kalah, dan pemimpinnya gemar melempar kesalahan pada orang lain.

Ketimbang mengatakan, "Saya yang salah." Mereka akan selalu mengatakan, "Itu bukan kesalahan saya." Sudah salah dan menyangkal, mereka pun mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Saya kira tulisan ini tidak dimaksudkan menghadirkan keluhan atau sikap pecundang. Insight dari Dapur Rumah Makan Sunda tempat saya biasa menikmati makan enak menunjukkan, ada sesuatu yang tak beres pada pangan-pangan kita.

Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang berupaya keras menghadirkan buah-buahan dan sayuran yang lebih besar dan lebih manis, saya justru menemukan pangan lokal yang sebaliknya. Kedelai impor semakin hari semakin bagus, sedangkan kedelai lokal semakin kuntet. Petai padi yang dulu besar-besar, kini semakin mengecil. Demikian juga dengan ikan pepes (ikan peda) yang dulu besar-besar, kini hanya daun pembungkusnya saja (daun pisang) yang besar.

Rasanya semua ini berlaku pada hampir semua panganan kita. Kue pisang juga semakin kerdil dan pisangnya sepat. Sekalipun makannya di hotel berbintang lima. Bakso yang dijajakan keliling juga semakin kecil, dan rasa dagingnya semakin tak terdeteksi lidah. Kata pemilik restoran bukan hanya ukuran yang mengecil. Keharumannya juga berkurang. Saya berbicara dengan para petambak ikan.

Mereka pun mengaku alam dan pakan sekarang sudah tidak bersahabat. Air dari sungai sudah rusak, pencemaran luar biasa ganas karena pabrik celana jins yang beroperasi tidak jauh dari tambak sering membuang limbah pewarna ke sungai. Ikan-ikan sulit menjadi besar. Di Waduk Jangari-Cirata saja, yang menjadi pusat ikan mas Jawa Barat, sudah dikepung oleh sampah. Lebih mengerikan lagi, harga pakan ikan pun sudah terlalu mencekik.

Maka supaya bisa tetap untung panen pun dipercepat. Itu pulalah yang tampaknya dilakukan petani (termasuk petai dan cabai), memanen hasil tanaman lebih cepat dari yang seharusnya agar bisa meraih untung. Apalagi akibatnya kalau bukan kuntet? Sementara di dunia internasional, perubahan iklim bisa mengubah peta suplai secara tiba-tiba. Kalau sudah begini, bangsa yang menang hanyalah bangsa yang proaktif.

Artinya, menanam jauh-jauh hari. Bukan seperti sekarang, ribut menanam kedelai pada ribuan hektare saat harganya sedang mahal. Lalu apa akibatnya dua tiga bulan lagi saat panen beramai-ramai? Insight ini menunjukkan, pertanian sudah tidak lagi menjadi sektor yang gurem. Pertanian justru akan menjadi sektor yang mengalahkan sektor-sektor lainnya. Apa artinya mempunyai emas kalau tak bisa mendapatkan makan?

Tetapi dalam masa transisi jelaslah suatu bangsa harus bisa menciptakan kondisi hasil investasi (internal rate of return) pada sektor pertanian yang positif. Saat ini saja dunia perbankan cenderung alergi pada sektor pertanian. Ini berarti diperlukan perubahan kebijakan agar petani mau kembali menjadi petani. Syaratnya, ya sederhana saja, berikan IRR yang positif dan besar.

Saya ingin menutup dengan insight lain dari para pedagang pangan. Bagi mereka, kenaikan harga adalah wajar, tetapi khusus mulai 2012, kenaikan pangan yang biasa terjadi bulan Ramadan kini bergerak jauh lebih cepat satu sampai dua bulan sebelumnya. Lebih jauh lagi, bila sebelum 2005 dari 365 hari berdagang mereka kalah sebanyak 80 hari (karena cost lebih besar dari price), sejak 2005 ke sini hari kekalahan terus membesar dan membesar.

Tahun ini telah menjadi 150 hari kalah. Masih positif sih.Tetapi, itu lampu kuning yang sebentar lagi menjadi merah. Artinya, ada masalah yang harus kita benahi bersama. Artinya, food kita sedang tidaksecure. Artinya, selain banyak masalah, ya banyak peluang.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

SUMBER : okezone.com

Senin, 14 Mei 2012

PUISI KARYA MAHASISWA IESP


^ izinkan Aku ^
Tuhan…
Anugrah yang Kau berika begitu indah…
Seetlah penantian panjang cinta itupun dating…
Seiring syukur yang ku ucap
Aku menatap Keagungan ciptaanMu…
Tuhan…
Izinkan aku bersamamnya dengan KasihMu…
Izinkan aku mencintainya dengan ridhoMu…
Izinkan aku melangkah bersamanya menuju jalanMu…

_Dy_ malem minggu, 3 Maret 2012. Gara-gara ngelihat AADC
Luar biasa efek kembali menghidupkan sastra J

Termarginalkan dari hingar bingar pasar
Disinilah tempat untukku berhenti saat ini
Sejenak merefleksikan diri dengan asa pasti
Mantapkan langkah mimpi…

_ujay, malem ahad 3 maret 2012…ini pas lagi ada Arsenal vs Liverpool di MNC TV             _
Puisi teruntuk putra-putri kebangganku kelak :
Segeret asa terukir diwajahmu
Tinta emas pun menari tanpa pernah terpaku
Disana surga telah menyeru
Laksana duri menghujam jantungku
Rasa ini tlah tertanam sejak dulu
Dikau, yah dikau yang memuat jari jemari ini begitu lentur
Dikau yang membuat pikiran ini sedikit melantur
Namun tetap teratur
Pergilah sejenak, karena kau akan segera bersamaku
Bersama kebahagiaan yang abadi
Yang dikau nanti
Inilah hidupmu, rengkuhlah tanganku
Rengkuhlah tanpa pernah kau memperdulikan waktu
Karena dikau tau
Kita adalah satu dan tak terpisahkan alam…
_asa ujay_ 03032012

Jumat, 24 September 2010

Daya Saing Daerah: Kota Magelang Peringkat Pertama

SEMARANG - Kota Magelang berhasil meraih peringkat pertama dalam Survei Daya Saing Daerah di Jawa Tengah 2010. Kota Magelang dinyatakan memiliki daya saing paling tinggi di antara 35 kota/kabupaten se-Jawa Tengah, dengan meraih skor 6,08.


Setelah Kota Magelang, masuk peringkat sepuluh besar, yakni Kabupaten Banyumas dengan skor 5,55, Kabupaten Kudus (5,35), Kabupaten Purbalingga (5,27), Kota Surakarta (5,05), Kabupaten Wonogiri (5,02), Kota Semarang (5,00), Kota Salatiga (5,00), Kota Tegal (4,96), dan Kabupaten Boyolali (4,77).


Menurut hasil survei yang diselenggarakan oleh Budi Santoso Foundation (BSF), Kantor Bank Indonesia (BI) Semarang, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jateng, Lembaga Kerja Sama Teknis GTZ melalui Program Pengembangan Ekonomi Daerah dan Wilayah (Local and Regional Economic Development-LRED), Suara Merdeka, dan Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Jateng tersebut, keberhasilan Kota Magelang meraih peringkat pertama karena didongkrak oleh tiga kategori dari enam kategori subindeks yakni persepsi iklim usaha, kinerja pemerintah dan infrastruktur.


Survei ini melibatkan 2.100 responden, mencakup 1.995 responden dari kalangan pengusaha (57 pengusaha per kota/kabupaten) dan 105 responden dari pejabat pemerintah (tiga pejabat pemerintah per kabupaten/kota). Untuk responden pengusaha meliputi pengusaha mikro, kecil, menengah, dan besar.


Direktur Eksekutif Budi Santoso Foundation (BSF) Adi Ekopriyono mengatakan, persepsi pengusaha terhadap iklim bisnis (business perception) di Kota Magelang mencapai skor 9,02.


Keberhasilan Magelang terkait dengan hasil persepsi pengusaha yang positif baik terhadap iklim bisnis saat ini dibanding dengan dua tahun yang lalu, prospek bisnis dua tahun yang akan datang, persepsi positif pengusaha terhadap konsistensi aparat, maupun penilaian pengusaha terhadap perubahan iklim bisnis secara keseluruhan.


“Untuk subindeks kinerja pemerintah, penilaian yang positif didapat dari akumulasi indikator dalam sub-sub indeks kapasitas pemerintah. Artinya, Magelang senantiasa memelihara rekomendasi yang baik untuk terus dilaksanakan dari tahun ke tahun,” ujarnya saat memaparkan hasil Survei Daya Saing Daerah di Jateng 2010 di gedung JDC, kemarin.


Di Survei Iklim Usaha (Business Climate Survey - BSC) tahun 2007, Kota Magelang telah masuk dalam urutan kedua sebagai daerah yang memiliki daya saing terbaik yang didongkrak oleh kategori infrastruktur dan kapasitas pemerintah

.

Instrumen

Mukti Asikin, Consultant GTZ Local and Regional Economic Development (LRED) Jateng mengatakan, survei daya saing daerah yang merupakan gabungan survei iklim usaha dan survei kinerja pemerintah serta infrastruktur diharapkan dapat meningkatkan masuknya investasi di Jawa Tengah.


“Hasil survei daya saing daerah diharapkan menjadi instrumen untuk mendorong perbaikan. Jadi tidak selesai survei, hasilnya masuk laci,” katanya.


Diharapkan, hasil survei dapat mendorong kompetisi yang sehat antarkabupaten-kota di Jateng, dan menjadi data monitoring tentang perubahan iklim usaha dan investasi kabupaten/kota di Jateng, serta menyediakan data kinerja pemerintah maupun swasta.


Wakil Ketua Bidang Investasi Kadin Jateng, Didik Sukmono menambahkan, untuk daerah dengan peringkat bagus seharusnya dapat membuktikan bisa menjadi tempat usaha yang baik.(J8-53)

Suara Merdeka, 27 Agustus 2010


Redenominasi Bukan Pemotongan Uang

Sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional menghadapi tantangan ke depan berupa integrasi perekonomian regional, saat ini Bank Indonesia tengah melakukan kajian mengenai penyederhanaan dan penyetaraan nilai Rupiah atau biasa disebut redenominasi.

Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya. Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang). Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

"Redenominasi sama sekali tidak merugikan masyarakat karena berbeda dengan sanering atau pemotongan uang. Dalam redenominasi nilai uang terhadap barang (daya beli) tidak akan berubah, yang terjadi hanya penyederhanaan dalam nilai nominalnya berupa penghilangan beberapa digit angka nol", demikian tegas Pjs. Gubernur BI, Darmin Nasution.

Bank Indonesia memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara yang berhasil melakukannya. Redenominasi tersebut biasanya dilakukan di saat ekspektasi inflasi berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil, stabilitas perekonomian terjaga dan ada jaminan terhadap stabilitas harga serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.

Bank Indonesia belum akan menerapkan redenominasi dalam waktu dekat ini karena Bank Indonesia menyadari bahwa redenominasi membutuhkan komitmen nasional serta waktu dan persiapan yang cukup panjang. Oleh karena itu, dalam tahapan riset mengenai redonominasi ini, Bank Indonesia akan secara aktif melakukan diskusi dengan berbagai pihak untuk mencari masukan. Hasil kajian yang dilakukan BI akan diserahkan kepada pihak-pihak terkait agar dapat menjadi komitmen nasional.

Jakarta, 3 Agustus 2010

Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat – Bank Indonesia

Dyah N.K. Makhijani

Direktur



Oleh: Agus Arifin, S.E., M.Sc.

(Dosen Muda IESP, Sekretaris Lab Pengembangan IESP, Ketua Umum HIMESBANG FE UNSOED 2002-2003, email: arifin_ie@yahoo.co.id)


Kamis, 23 September 2010

Tips Jitu Untuk Mahasiswa Baru

Assalamualaikum...

Selamat datang mahasiswa baru Fakultas Ekonomi UNSOED, khususnya jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP). Masa depan kalian dimulai dari sini. Jangan sia-siakan waktu kalian untuk hal-hal yang tidak berguna selama 4 tahun ke depan karena durasi untuk mendapatkan gelar S1 ini tidak lah lama. Jadi, manfaatkan waktu dan lakukan yang terbaik!

Sebelum membahas panjang lebar tentang dunia kampus, saya ingin sedikit memberikan gambaran tentang jurusan IESP. Jurusan IESP adalah salah satu jurusan di antara 2 jurusan (Manajemen dan Akuntansi) yang ada di Fakultas Ekonomi UNSOED. Ilmu-ilmu yang dipelajari pada jurusan ini merupakan ilmu murni (pure science), berbeda dengan yang dipelajari pada jurusan Manajemen dan Akuntansi yang merupakan ilmu terapan (applied science). Oleh karena itu, hal menarik yang kita alami ketika kita belajar ilmu ekonomi murni ini adalah bagaimana kita mengembangkan otak kanan dan otak kiri kita, di mana secara bersamaan ketika kita belajar teori-teori ekonomi, saat itu juga kita mengembangkan daya imajinasi kita dalam menganalisis masalah-masalah ekonomi. Namun, bukan imajinasi yang kosong, tetapi semakin baik imajinasi kita, maka akan lebih mudah kita dalam memahami ilmu ini, secara teori maupun aplikasinya secara nyata (fenomena-fenomena ekonomi). Satu hal lagi yang penting, yang membedakan dengan jurusan Manajemen dan Akuntansi, adalah bahwa mahasiswa/lulusan IESP dipersiapkan untuk menjadi pengambil keputusan/kebijakan (decision maker) di bidang ekonomi, penyusun/perencana pembangunan ekonomi, pemberi pertimbangan (analis) dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi, bukan sebagai pelaksana/pekerja (workers) yang memang dipersiapkan oleh jurusan Manajemen dan Akuntansi. Jadi, kita dapat melihat pebedaannya secara jelas. Dengan memahami pebedaan ini, diharapkan mahasiswa baru IESP dapat memfokuskan diri dan serius sejak dini dalam mempelajari bidang ilmunya, ilmu ekonomi.

Dengan keunggulan kompetensi yang dimiliki oleh seorang mahasiswa ataupun lulusan IESP, maka dalam dunia nyata, diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap pemecahan masalah terhadap fenomena ekonomi yang terjadi, meskipun hanya sebatas gagasan/ide. Di pasar dunia kerja, lulusan IESP akan dapat memasuki berbagai lapangan pekerjaan, misalnya di PERBANKAN (Bank Indonesia, Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Danamon, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank NISP, BII, Bank Jateng, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Central Asia, Bank of Tokyo, dll.), DEPARTEMEN (Departemen Keuangan; Departeman Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi; Departemen Tenaga Kerja, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS;BAPEPAM; JAMSOSTEK), PEMERINTAHAN DAERAH (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/BAPPEDA; Sekretaris Daerah/SETDA; Dinas Peridustrian, Perdagangan, dan Koperasi; Dinas Tenaga Kerja, dll.), SWASTA (Pegadaian, ASTRA, FIF, Adira Finance, WOM Finance, dll.).

Sekarang, apa yang mesti dilakukan oleh mahasiswa baru supaya kelak dapat memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin dengan hal-hal/kegiatan-kegiatan yang dapat membekali dirinya sehingga kelak dapat menjadi lulusan yang berkualitas, sesuai dengan bidang ilmunya.

Pertama, fokuskan pada akademik, karena niat dan tugas utama setiap mahasiswa adalah belajar menuntut ilmu sesuai dengan bidang ilmu yang diminati dan dipelajari. Di samping ini merupakan tanggung jawab terhadap diri sendiri, juga tanggung jawab kepada orang tua yang membiayai kita hingga kuliah. Caranya adalah dengan mengikuti perkuliahan dengan rajin, memperhatikan penjelasan dosen ketika menyampaikan kuliah dengan mengikuti aturan yang disepakati dosen-mahasiswa pada awal perkuliahan (kontrak pembelajaran/perkuliahan), melengkapi catatan dari dosen dengan mencari sumber-sumber referensi (buku referensi di perpustakaan, internet, jurnal, skripsi, tesis, dll.), belajarlah dengan enjoy, buka kembali kuliah yang sudah pernah disampaikan (paling tidak sempatkan waktu minimal seminggu sekali), jadi ketika menjelang ujan tengah semester/ujian utama semester tidak perlu susah payah belajar "Sistem Kebut Semalam/SKS", sering-seringlah berdiskusi dengan teman atau dosen tentang ilmu yang sedang dipelajari untuk mempertajam pemahaman dan analisisnya serta mampu mengembangkannya. Insya Alloh Indeks Prestasi (IP) nya akan tinggi.

Kedua, ikuti beberapa kegiatan kemahasiswaan (latihan berorganisasi), karena ini akan melatih kecerdasan emosianal (emotional quotien) kalian. Dengan aktif mengikuti kegiatan organisasi kampus, maka kalian akan dilatih bagaimana menghadapi dan memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari atau singkatnya "latihan bersosialisasi". Ini penting karena kepandaian ilmu tanpa diiringi dengan kecerdasan emosional, maka tidak akan banyak bermanfaat ilmu yang ia dapatkan, misalnya kesulitan dalam menyampaikan ilmu/pengetahuan, tidak pandai bergaul, susah berdiskusi dengan orang lain, tidak mau menerima masukan orang lain, dll. Mahasiswa atau siapapun yang aktif dalam berorganisasi, maka dia akan dapat menempatkan/menyesuaikan diri di mana saja berada dan dalam situasi bagaimana pun sehingga dia akan cenderung mempunyai daya tahan (survive) dan daya juang (struggle) yang tinggi.

Ketiga, lengkapi dengan kemampuan (skill) bahasa inggris dan komputer, ini syarat minimal yang harus kalian punyai. Berdasarkan beberapa masukan dari alumni kita bahwa lulusan FE UNSOED sudah cukup berkualitas (kecerdasan, kompetensi, komitmen, kejujuran), tetapi kurang dalam skill "bahasa inggris". Mumpung masih awal, para mahasiswa baru harus mempunyai prioritas untuk menguasai kemampuan bahasa inggris, baik pasif maupun aktif, sehingga lulus nanti sudah siap dengan skill bahasa inggris nya. Penguasaan komputer yang paling dasar dikuasai adalah Microsoft Office (Microsoft Word, Excell, Powerpoint, biasanya ditambah Access), kemudian nanti selama berproses harus dapat menguasai SPSS dan Eviews (untuk pengolahan data untuk pembuatan penelitian, skripsi, dll.).

Buat para (calon) organisatoris kampus...

Langkah yang kalian lakukan sudah benar. Kemampuan berorganisasi memang sangat membantu meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan berkomunikasi ketika nanti berkompetisi di dunia kerja. Saya hanya mengingatkan, tugas utama kalian jangan sampai terlupakan, yaitu memperoleh selembar kertas yang ditandatangani Rektor sebagai bukti kalian telah memperoleh gelar Sarjana, yang akan kalian persembahkan kepada Bapak dan Ibu kalian. Itu adalah hadiah terbaik buat Bapak dan Ibu kalian. Jangan lupa, salah satu kebanggaan orangtua adalah ketika dapat menyekolahkan anaknya sampai sarjana dengan tuntas. Kondisi yang diharapkan adalah kalian PANDAI DI AKADEMIK, PANDAI JUGA BERORGANISASI".

Ohya, bagi semuanya, luangkan waktu untuk refreshing, karena refreshing yang cukup juga akan memulihkan kondisi pikiran dan fisik kita di samping menghilangkan kejenuhan rutinitas sehari-hari. Dan, kunci keberhasilan itu semua adalah bagaimana menyeimbangkan tiga unsur yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Saya sangat menekankan kalian untuk mengasah kecerdasan spiritual dengan banyak mendekatkan diri kepada Alloh SWT karena Alloh lah yang akan memudahkan setiap langkah kita. Betapa pun kita berusaha semaksimal mungkin, tetapi Alloh tidak menolong kita, ya semua akan menjadi sia-sia. Jadi, Alloh adalah di atas segala-galanya.

Manfaatkan waktu, Lakukan yang terbaik, Jalani secara ikhlas, Hadapi dengan senyuman...

Wassalamualaikum...




Agus Arifin, S.E., M.Sc.
(Dosen Muda IESP, Sekretaris Lab Pengembangan IESP, Ketua Umum HIMESBANG FE UNSOED 2002-2003, email: arifin_ie@yahoo.co.id)