oleh : Chintya Feronica (C1A011011)
Sudah berapa lamakah kita merdeka? Duah berapa lama indonesai terlepas dari aniaya para kompeni Belanda? 10 tahun? 30 tahun? Sudah 66 tahun Indonesia merdeka dan saat itu kita juga terlepas dari kerja rodi dan romusha para penjajah Indonesia sekarang tidak jauh berbeda dari 66 tahun silam, penjajah kita tidak hanya dari kaum kompeni, tapi bahkan orang-orang dalam negeri sendirilah yang membuka goresan luka masa lalu.
Kasus Nazaruddin mencengangkan kita, seorang koruptor tingkat dewa berhasil keliling dunia, para pihak kepolisian dibuat kelabakan bahkan kebingungan. Sebelumnya ada Gayus Tambunan, seorang napi kasus koruptor yang bisa keluar masuk penjara dengan seenaknya, terbang ke Bali untuk melihat pertandingan tenis, dengan cara apa mereka melakukan seperti itu? Uang? Uang siapa? Kalau bukan uang negara.
Ketika negara kehabisan uang, apa yang dikejar? Para investor bukan? Para investor dari luar, ini dia awal dari penjajahan Indonesia lagi. Kita lihat saja di kota kecil seperti Purbalingga.
Purbalingga sebuah kabupaten dan kota di wilayah Jawa Tengah, ketika kita lihat pukul 07.00 WIB atau pukul 17.00 WIB akan banyak para wanita-wanita berseragam keluar dari sebuah gedung-gedung, gedung itu tidak lain adalah perseroran terbatas (PT), yang diantaranya meproduksi rambut palsu, bulu mata, dan semacamnya, lebih dari 1000 tenaga kerja menggantungkan hidupnya di pabrik tersebut, pabrik milik orang-orang korea selatan, yang merupakan sedikitnya investor dari Indonesia.
Para pekerja itu rela putus sekolah demi untuk mencari makan, padahal upah yang diterima tidak seberapa, untuk mereka yang hanya lulusan SMA bahkan SMP, tanpa bekal kemampuan apa pun. Menurut mereka apa salahnya putus sekolah, kalau dengan itu mereka bisa menghasilkan uang, dari pada lulusan sarjana, tapi akhirnya menganggur juga. Pihak PT tidak hanya memanfaatkan dari mereka saja, bahkan orang-orang yang tidak lulus sekolah dasar pun, atau mungkin orang-orang yang ingin bekerja di PT namun belum ada kesempatan, bisa ikut bekerja, mereka melakukan pekerjaannya di rumah, dengan cara mengambil barang dari PT dan digarap di rumah. Contoh : pekerja yang diambil seorang ibu adalah mengepack (mengemas) bulu mata pada tempatnya yang sudah disediakan dari pabrik. Berapa upahnya? Pasti kita bertanya-tanya, hanya Rp 15.000,00/100 pack, pekerjaan yang memperlukan tingkat keteliatian yang tinggi hanya diberi upah sebegitu minimnya, dan 100 pack itu harus disetorkan sesudak kita mengambilnya, itu baru pengepackan, pekerjaann yang lebih rumit lagi, pembuatan bulu matanya, bulu-bulu yang begitu kecil harus dimasukkan kesebuah benang, atau yang membuat rambut palsu? Kita tidak bisa bayangkan, apa efek dampak panjangnya, mungkin kerabunan pada mata, sakit punggung, dll, tak sebanding dengan upahnya, saat bulu mata dan rambut palsu itu telah jadi sempurna, berapa yang diperoleh dari pabrik investor, tidak hanya jutaan, bahkan ratusan juta, karena pemasarannya tidak hanya dalam negeri, tapi luar negeri, yang perlu kita garis bawahi disini, sampai kapan kita harus seperti ini? Apakah selamanya? Apakah mereka yang disana hanya ingin menjadi pekerja untuk orang asing, tidak ingin menjadi orang yang bisa mempekrjakan orang-orang asing itu?
Tapi, disini juga akan berfikir, berapa ratus bahkan juta pengangguran yang akan mampu muncul jika suatu saat perseoran-perseroan terbatas itu ditutup? Apa dampak-dampak negative yang akan terjadi? Penutupan PT bukan sebagai jalan keluar, tapi akan menimbulkan masalah-masalah baru.
Lantas apa yang harus kita lakukan? Inilah tugas para generasi muda, inilah salah satu PR para penerus bangsa yang harus dikerjakan, bahkan diselesaikan, jadikanlah Indonesia sebagai negara yang terkemuka dengan kualitas-kualitas SDM dan SDA nya, dengan cara berfikirnya, bahkan dengan pemimpin-pemimpin yang patut dijadikan teladan dikalangan dunia, bukan dengan para buruh-buruhnya, ataupun dengan kasus korupsi terbesarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar