MODUL IGD (Internal
Group Discussion) Ke-2
BIDANG KEILMUAN
Biro Kajian &
Pendidikan HIMESBANG FE UNSOED 2012
bersama Bidang PSDM
HIMESBANG FE UNSOED 2012
Konsep Masalah : Ria
Meinar Amalia
Fokus Diskusi :
Ekonomika Publik
Tema Diskusi : “Rencana Kenaikan PTKP : Apakah
Menjadi satu
Langkah Ciptakan
Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pendapatan Yang Lebih Baik?"
Tujuan Diskusi : Untuk
menganalisa apakah rencana kenaikan batas PTKP
dapat
secara efektif mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pendapatan bagi masyarakat Indonesia.
Moderator : Staff Biro Kajian dan Pendidikan,
Bidang Keilmuan 2012
Ruang Lingkup : Pertumbuhan ekonomi vs pemerataan
pendapatan,
penerimaan
pajak, anggaran belanja, masyarakat miskin, tingkat daya beli masyarakat, pro
kontra kenaikan batas PTKP, serta dampak kenaikan batas PTKP.
ALUR BERPIKIR DISKUSI
Pengenalan Masalah :
Menurut
UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 7 :
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit
sebesar:
a.
Rp15.840.000,00 (lima belas juta
delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b.
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga
ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c.
Rp15.840.000,00 (lima belas juta
delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1); dan
d.
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga
ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap, keluarga.
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh
keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah
dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kesenjangan
ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat
berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat
kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan dua
masalah besar yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang, tidak
terkecuali Indonesia. Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada
dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya
sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan.
Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan
ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan
yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun, yang menjadi
masalah bukan hanya soal bagaimana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap
melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya. Persoalan kemiskinan merupakan
salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah.
Defenisi
kemiskinan terbagi dua :
1.
Kemiskinan relative (yang mengaju
pada garis kemiskinan) yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam
distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan didalam kaitannya dengan
tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Dinegara-negara maju,
kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan
rata-rata perkapita. Standar minimum disusun berdasarakan kondisi hidup suatu
negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk
“termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah
diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk
relative miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relative sangat tergantung
pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi
ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.
2.
Kemiskinan absolute (derajat
kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup
tidak dapat terpenuhi. Yaitu suatu ukuran tetap didalam bentuk suatu kebutuhan
kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat
diperlukan untuk survive. Kemiskinan absolute ditentukan berdasarkan
ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seprti pangan, sandang,
kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan
bekerja.
Dalam
3 tahun terakhir jumlah penduduk miskin Indonesia mengalami penurunan, dari
sebesar 37,17 juta (16,58%) pada tahun 2007, menjadi 34,96 juta (15,42%) pada
tahun 2008, dan pada tahun 2009 angkanya menjadi 32,53 juta (14,15%).
Rasio
penerimaan pajak saat ini masih dibawah rasio pajak negara miskin. Dengan PDB
kita saat ini yang besarannya mencapai Rp 8.119 triliun dan posisi kita sebagai
negara kelompok menengah bawah harusnya proyeksi penerimaan pajak bukan hanya
Rp 1.033 tapi mencapai Rp 1.545 triliun. Indonesia sebagai negara dengan
kategori kelompok negara menengah bawah, rasio pajak yang ditetapkan oleh
pemerintah tahun 2012 ini hanya sekitar 12 persen, atau tujuh persen lebih
kecil jika dibandingkan dengan patokan rasio yang telah distandarkan oleh Dana
Moneter Internasional (IMF) sebesar 19 persen. Rasio pajak ini bahkan juga jauh
lebih kecil jika dibandingkan dengan rasio pajak negar kelompok negara miskin
yang besarannya mencapai 14,3 persen. Dengan kata lain, ada potensi kehilangan
pajak sebesar Rp 512 triliun.
Daya
beli suatu masyarakat terhadap barang dan jasa kebutuhan dasar terkait dengan
pendapatan dan harga barang/jasa tersebut. semakin kecil pendapatan masyarakat
maka semakin rendah pula daya belinya, sedangkan semakin tinggi harga (khusus
kebutuhan dasar) daya beli tidak banyak berubah. Daya beli masyarakat rendah
namun keinginan membeli yang tinggi bahkan cenderung konsumtif, masyarakat dari
kalangan menengah kebawah. Masyarakat tersebut tidak mampu membeli produk
dengan porsi ukuran yg lebih besar meskipun bila dihitung tentu akan jauh lebih
murah. mereka tidak punya pilihan karena jika membeli produk2 tersebut dengan
ukuran kecil maka harganya menjadi terjangkau, mengingat mereka harus mencukupi
kebutuhan hidup lainnya.
Konsepsi Masalah :
Kabar baik yang berpihak pada masyarakat berpendapatan
rendah akhirnya berhembus juga. Dalam waktu dekat pemerintah berencana
menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp15,8 juta per tahun
menjadi Rp24 juta per tahun. Hal itu berarti pegawai negeri sipil dan pekerja
swasta yang bergaji sekitar Rp2 juta per bulan tidak dikenakan kewajiban
membayar pajak penghasilan. Misi dibalik kebijakan tersebut sebagai salah satu
upaya mendongkrak daya beli golongan masyarakat berpendapatan rendah. Di level
eksekutif kebijakan yang berbau populis itu sudah tidak ada masalah lagi,
tinggal menunggu restu dari para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan.
Masalahnya,
restu dari DPR tentu harus melalui sebuah proses yang panjang sehingga hasrat
masyarakat untuk menikmati gaji tanpa potongan pajak secepat mungkin masih
sebatas angan-angan. Proses panjang tersebut terkait perubahan Undang-Undang
(UU) No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, namun bukan berarti tiada jalan
pintas. Niat baik pemerintah itu jangan sampai tertunda. Jalan pintas yang bisa
ditempuh, menurut versi Kementerian Keuangan, adalah menerbitkan aturan dalam
bentuk peraturan menteri keuangan (PMK) atas persetujuan DPR. Karena itu,kita
berharap regulasi yang memang menyentuh kehidupan masyarakat bawah jangan
sampai menjadi komoditas politik lagi yang biasanya berakhir tanpa keputusan.
Pengalaman selama ini, seringkali beberapa rumusan kebijakan dari legislatif
yang berpihak kepada rakyat kecil justru layu sebelum berkembang di tangan
wakil rakyat sendiri. Pengenaan kenaikan batas PTKP menjadi sebesar Rp24 juta
per tahun memang akan memangkas potensi penerimaan pajak yang mencapai Rp12
triliun per tahun.
Namun,
pemerintah optimistis potensi pajak yang hilang tersebut akan beralih menjadi
penerimaan negara dalam bentuk lain. Sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan
Agus Martowardojo, uang yang tidak dibayarkan wajib pajak dalam bentuk pajak
akan kembali lagi ke negara dalam bentuk pajak yang lain lewat konsumsi dan
investasi. Meski kebijakan tersebut masih sebatas rencana, kalangan pengusaha
merespons positif. Bagi CEO Bosowa Grup Erwin Aksa, langkah itu sebuah
terobosan yang memberi angin segar terhadap dunia usaha.Menurut mantan ketua
umum HIPMI itu, tidak sedikit pengusaha memasukkan unsur kewajiban pajak
penghasilan (PPh) dalam struktur gaji karyawan di dalam income pekerja (regular
income tax) atau dengan kata lain perusahaan membayarkan PPh karyawan. Suara
senada datang dari kalangan pengembang properti.
Mereka
menilai kebijakan peningkatan batas pengenaan PTKP bakal berdampak langsung
terhadap kemampuan cicilan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mewujudkan
rumah impian. Jadi, selintas tidak alasan bagi pemerintah maupun DPR untuk
tidak segera mewujudkan kebijakan tersebut. Selain meningkatkan daya beli
masyarakat bawah, juga mengurangi beban kalangan pengusaha yang harus
menanggung PPh karyawan. Direktorat Jenderal Pajak tentu saja yang kena
getahnya karena harus menutupi potensi pajak yang tak tertagih tersebut.
Tetapi, tidak perlu khawatir sebab selama lima tahun terakhir ini seiring
pertumbuhan ekonomi telah muncul kelas menengah baru yang diperkirakan bertambah
9 juta orang per tahun.
Berdasarkan
versi Bank Dunia, sebanyak 56,5 persen dari total populasi Indonesia masuk
kategori kelas menengah. Salah satu indikatornya, kelas menengah itu
mengeluarkan uang belanja sebesar USD2 hingga USD20 per hari. Nah, masyarakat
kelas menengah baru inilah yang harus menjadi fokus garapan para petugas pajak.
Kesimpulan :
Pendapat masih
terbagi dalam dua kubu yang berbeda, yakni setuju dan tidak setuju. Keduanya
memiliki argumen tersendiri yang mewakili kedua kubu ini. Kubu pro menganggap kebijakan ini merupakan
kebijakan yang baik untuk menaikkan tabungan masyarakat yang dapat digunakan
untuk investasi. Investasi bertujuan untuk memperluas dan meningkatkan
produktivitas serta menambah lapangan pekerjaan. Kenaikan PTKP juga dapat
menambah tingkat konsumsi masyarakat.
Sedangkan kubu kontra beranggapan
bahwa kebijakan untuk menaikkan PTKP tidak tepat lantaran kondisi APBN defisit.
Jika kebijakan diterapkan maka akan menambah defisit negara. Selain itu juga akan
memanjakan masyarakat secara berlebihan. Karena selama ini masyarakat sudah
terlalu banyak diberi insentif seperti dengan adanya berbagai subsidi. Selain
itu, multiplier effect yang
ditimbulkan dari kebijakan ini juga sedikit untuk menambah investasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kebijakan untuk menaikkan PTKP harus dikaji ulang dengan melihat target masyarakat yang seharusnya menerima insentif
dari kebijakan ini. Harus dilihat juga dampak negatif yang akan timbul dari
kebijakan ini seperti APBN yang semakin defisit. Perlu dibuat cara-cara
alternatif untuk menanggulangi dampak negatif yang timbul dari kenaikan PTKP.
Saran :
Hal-hal
yang harus dilakukan untuk menanggulangi dampak negatif dari kebijakan ini :
1. Mengoptimalkan jumlah pajak yang diterima dari
wajib pajak daripada menaikkan PTKP yang dapat berdampak bagi penurunan jumlah
pajak yang diterima.
2. Melakukan sensus pajak karena masih adanya
wajib pajak yang belum terdeteksi
3. Harus melihat konsumsi yang nantinya bertambah
dari masyarakat bukan berasal dari pembelian barang-barang impor. Jika
masyarakat cenderung membeli barang-barang impor, maka efek positifnya akan
nihil. Harus dioptimalkan, konsumsi masyarakat dengan membeli barang-barang
dalam negeri.
4. Pemerintah harus jeli kemana insentif
seharusnya diberikan
5. Melihat kondisi saat ini dimana kaum yang
dimaksud pemerintah untuk diberikan insentif malah tidak berdampak sama sekali,
seperti kaum buruh. Dimana pendapatan mereka dibawah UMR dan tidak berdampak
sama sekali dengan kenaikan PTKP.