Kamis, 26 Juli 2012

MP3EI dan Diplomasi Pangan


Ilustrasi. Foto: Corbis
Ilustrasi. Foto: Corbis
Bulan ini Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) alias rumusan penggerak roda perekonomian nasional yang menjadi andalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) genap berusia satu tahun.

Melalui program ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi yang pesat bagi Indonesia sehingga pada 2025 diharapkan tercapai target pendapatan per kapita USD14.250-USD15.500 dengan nilai total perekonomian berkisar USD4,0 triliun–USD4,5 triliun.

Saat ini nilai total perekonomian Indonesia ada di kisaran USD770 miliar dengan pendapatan per kapita di kisaran USD3.000. Target-target tersebut digenjot melalui skema yang melibatkan mitra swasta.

Ada 22 jenis kegiatan yang dibidik, mulai dari pertanian, infrastruktur hingga pertambangan. Wilayah Indonesia bagian timur dan Sumatera termasuk yang sangat dipacu pertumbuhannya. Misalnya membangun bandara di Lombok, menetapkan areal seluas 1.200 hektare (ha) di Lombok bagian selatan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Nasional, membangun jalan dan pelabuhan trans-Maluku,serta membangun jalan tol dan jalur kereta api di Sumatera.

Saya ingin membahas MP3EI dalam hal perbaikan ketersediaan pangan. Dalam cetak biru MP3EI, arah yang dituju adalah ketahanan pangan. Dalam arti, Indonesia akan memanfaatkan keunggulannya untuk meningkatkan daya tawar dalam percaturan politik global terkait pangan, yakni dalam hal jumlah penduduk, jumlah orang muda, surplus jumlah penduduk berusia produktif, letak geografis yang strategis, ketergantungan dunia pada arus pelayaran yang melewati Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.

Indonesia diharapkan berperan di tataran regional maupun internasional untuk menjadi lumbung pangan (dan air). Implisit di dalam target tersebut adalah keinginan melakukan swasembada walaupun arahnya bukan menutup diri, melainkan sebagai penyedia pasokan pangan bagi dunia.

Sejauh mata memandang, langkah ke sana belum optimal digarap. Pertama karena pendekatan diplomasi yang ada belum mengarah pada penciptaan gerakan tanam bersama di lahan bumi yang jumlahnya makin terbatas.

Lahan diperlakukan seolah-olah komoditas yang tak ada habisnya. Jika semua negara dibebaskan untuk secara swadaya melakukan pengelolaan lahan secara eksklusif, dalam kurun waktu 20 tahun mendatang sudah akan bermunculan negara-negara yang lebih miskin dari sekarang. Saat ini sejumlah negara seperti China, India, AS secara agresif mencari lahan-lahan subur di seluruh dunia untuk bercocok tanam dan beternak.

Hasilnya langsung diboyong ke negara masing-masing; penduduk setempat yang bercocok tanam dan beternak hanya bisa gigit jari. Kecenderungan saling rebut lahan ini tidak bisa disetop dengan skema-skema kerja sama internasional yang ada sekarang karena yang sekarang digarap adalah kerja sama perdagangan, pembuatan lumbung bersama, larangan proteksi, dan sejenisnya.

Semuanya tidak menyentuh esensi pangan sebagai barang publik (public goods). Karena lahan dan air adalah hak semua umat manusia, sebenarnya penggunaan barang tersebut oleh pihak lain tidak bisa dilarang (non-excludable) dan tidak boleh mengurangi kenikmatan pihak lain ketika menggunakan barang tersebut (non-rivalry). Artinya, perlu ada skema kerja sama multilateral dan regional yang mengarah pada penggunaan bersama lahan dan air untuk pertanian.

Biaya diatur terjangkau karena pemerintah melakukan subsidi melalui skema kerja sama dengan negara lain. Ada pula mekanisme untuk menggentarkan negara lain untuk sekadar numpang enak (free rider) meskipun tentu perlu ada harga khusus bagi negara-negara yang memang kurang mampu.

Artinya bahwa diplomasi perlu dibedakan pendekatannya untuk penyediaan produk pangan primer atau mentah. Beras, tebu, buah-buahan, sayur-mayur, gandum, biji-bijian, misalnya, adalah produk pangan primer yang menjadi hak semua orang di bumi.

Teknologi untuk mengelola kecukupan panen produk ini sebenarnya tidak bisa dipagari dengan hak paten karena pada akhirnya ini menyangkut kecukupan panen bagi sesama manusia. MP3EI perlu memikirkan konsekuensi dari kebutuhan diplomasi produk primer pertanian ini seperti mekanisme menjaga tata ruang dan wilayah dan kontrak pemanfaatan lahan oleh pihak asing. Ini tidak boleh salah langkah dan jelas bukan semata soal penyediaan infrastruktur fisik seperti fokus MP3EI sekarang.

Kedua, diplomasi perlu mengakomodasi masa depan agrobisnis yang cerah dan menggiurkan. Agrobisnis adalah usaha untuk meningkatkan nilai jual produk-produk pertanian melalui pengolahan dan pengembangan forward linkages (bisnis terkait yang berkembang karena ada agrobisnis, misalnya bisnis kargo, pembuatan kemasan, asuransi). Saat ini agrobisnis cenderung dikonotasikan kuno sehingga ditinggalkan oleh generasi muda.

Padahal negara-negara yang populasinya menua tidak punya cukup sumber daya manusia untuk mengolah lahan pertanian. Ke depan, agrobisnis adalah sektor usaha yang sangat menjanjikan. Maklum, permintaan akan produk pangan pasti meningkat terus seiring bertambahnya populasi dunia.

Jadi, ketersediaan pangan sangat bergantung pada kemampuan mengolah produk pangan primer menjadi ragam produk yang sehat, tahan disimpan, bergengsi atau praktis kemasannya, dan bisa dinikmati penduduk dunia di mana pun.

Karenanya ruang agrobisnis perlu digenjot dan bukannya dicekik dengan aturanaturan nonproteksi atau antisubsidi. Pengembangan agrobisnis membutuhkan investasi besar, terutama di bidang penelitian dan pengembangan (R&D).

Saat ini satu investasi bidang R&D untuk produk pangan umumnya baru menghasilkan profit setelah 15 tahun. Bayangkan bila beban ini harus ditanggung oleh sektor swasta saja. Proyek MP3EI perlu memfasilitasi pengembangan R&D ini, lengkap dengan jejaring sektor swasta yang siap mengembangkan hasil-hasil penelitian menjadi produk-produk pangan bernilai jual tinggi.

Ketiga, Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta instansi terkait bidang pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perlu memperbaiki cara komunikasinya agar bisa dipahami dan diterima pelaku agrobisnis dan rakyat biasa.

Penantang kita adalah negara seperti Brasil yang sudah menerapkan 100 persen praktik pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan hidup.

Standar mereka diakui secara internasional, bahkan oleh Eropa dan Amerika Serikat. Kalau Indonesia masih sekadar defensif ketika dikritik bahwa praktik pertanian atau perkebunannya tidak ramah lingkungan, kita justru akan kehilangan respek dari dunia internasional. Karena fitur Kementerian Negara Lingkungan Hidup memang belum memungkinkannya untuk punya "kaki tangan" sampai ke tingkat komunitas dan kabupaten/kota, pemerintah pusat perlu membuat jembatan melalui instansi pemerintah lain yang punya ”kaki tangan".

Ke depan, pertanian dan perkebunan wajib dikelola secara modern. Dalam banyak hal, arahnya adalah intensifikasi modal. Jadi dibutuhkan pembinaan intensif agar petani (besar maupun kecil) tidak mengambil jalan pintas yang tidak ramah lingkungan.

MP3EI belum punya roh pembaruan sampai ke arah sana. Padahal masuknya pihakpihak baru ke daerah yang jauh dari pengawasan pemerintah pusat akan berisiko tinggi disalahgunakan, apalagi praktik ramah lingkungan tadi belum mengakar. Arah pandang diplomasi pangan kita perlu lebih jauh ke depan.

Taruhan kita adalah diri kita sendiri di masa tua dan generasi anak kita. Bila MP3EI tidak kita manfaatkan secara optimal untuk mengubah cara pandang dunia, swasta, dan komunitas, hasilnya pun tidak akan optimal.

DINNA WISNU
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
SUMBER : okezone.com

MAHASISWA?


MAHASISWA?
Oleh: Herlambang WIbowo
Hanya itukah ilmu mu?
Belajar untuk melempar batu…
Di tengah jembatan kau adu uratmu…
Sesama saudara membunuh tanpa malu…
Hanya itukah ilmu mu?
Meneriakkan kata setia dengan jiwa…
Namun melepasnya dalam sekejap mata…
Dan lihatlah pendahulumu di ’98…
Mereka berdarah….berkorban…
Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…
Dan lihat dirimu…
Yang darahnya tertumpah sia-sia..
Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…
Hai kau di sana!!!!!
Masihkah kau mengaku mahasiswa?!

Food Security


Ilustrasi. (Foto: Corbis)
Ilustrasi. (Foto: Corbis)
Bila dua-tiga bulan lalu bangsa ini heboh membicarakan energy security, sebulan terakhir kita sibuk membicarakan pangan. Food dan energy adalah sebuah kesatuan, apalagi sekarang bahan-bahan pangan mulai dijadikan pengganti energi.

CPO, kedelai, biji bunga matahari, jagung, tebu, ketela, gandum, dan sebagainya kini di dunia mulai dialihkan menjadi bioenergy yang harganya terus melonjak. Kalau harganya terus melonjak, dan sebagian besar tanaman itu bisa ditanam di sini, mengapa justru mengalami kerawanan?

Kalau pertanian Indonesia ingin maju, berikanlah keuntungan yang positif dan harga jual yang bagus bagi produk-produk pertanian Indonesia. Ini berarti, batasi impor dan jangan manjakan konsumen. Tetapi, kita sepertinya ingin mendapatkan keduanya: pertanian maju, tetapi harganya harus murah dan konsumen harus senang.

Surplus, tetapi Miskin
Ketahanan pangan menjadi masalah besar justru di negara-negara Asia, yang menurut Bank Dunia mengalami pengurangan kemiskinan yang signifikan. Menurut FAO (2009), sepanjang 2003-2005 saja terdapat 541,9 juta penduduk Asia yang kekurangan gizi. Mengapa pertumbuhan ekonomi disertai kerawanan pangan? Ambil contoh saja di Thailand dan Vietnam yang mati-matian mengembangkan konsep ketahanan pangan sejak 30 tahun lalu. Di kedua negara ini sektor pertanian mengalami kemajuan sangat pesat.

Berbeda dengan di Pulau Jawa yang lahan-lahan pertaniannya beralih ke properti dan industri, di kedua negara itu lahan-lahan pertanian justru diperluas dan irigasi diperbaiki. Keduanya surplus pangan dalam jumlah besar.Pada tingkatan makro, pertaniannya maju pesat. Namun, pada tingkatan rumah tangga, para petani tetap kesulitan hidup dengan layak dari sektor pertanian. Mereka lebih menjadi net buyeryang hanya bisa membiayai sepersepuluh konsumsinya dari hasil pertanian (Isvilonanda & Bumyasiri, 2009).

Demikianlah, pangan adalah masalah yang sangat serius, semakin kompleks dan butuh perhatian lintas sektoral. Tidak cukup diatasi oleh penghapusan bea masuk seperti yang dilakukan pemerintah terhadap impor kedelai. Pangan adalah masalah ketahanan yang rumit. Konsep pertahanan-keamanan yang dulu berarti tentara dan senjata, kini bergeser ke pangan dan energi. Lihatlah betapa kita kedodoran mengelola ketahanan pangan yang menyangkut apa saja.

Tahun lalu cabai saja sampai menjadi agenda pembicaraan yang hangat di Istana. Lalu dalam perekonomian kita muncul masalah daging sapi, gula, garam, ikan kembung, beras, bahkan bawang merah. Kini kedelai. Sebanyak 150 ribu anggota koperasi tahu-tempe hari-hari ini tengah melakukan aksi mogok ketika harga kedelai melonjak dari Rp5.000 menjadi Rp8.000 per kilogram.
Meski semalam saya masih bisa menikmati tahu-tempe, ada rasa waswas, bukan khawatir kehilangan keduanya, melainkan khawatir anak-anak kita kelak akan kesulitan makan karena negeri ini tak memiliki konsep ketahanan pangan yang jelas.

Semakin Kerdil

Selain data yang sudah banyak dipaparkan para ahli, mari kita membaca insight berikut. Menurut kamus, insight adalah a clear or deep perception of a situation. Atau bisa juga perasaan subjektif yang bisa dibaca dari sebuah situasi. Namanya juga subjektif, jadi bisa terbaca, bisa juga tidak. Bisa terbaca A, bisa juga terbaca B. Tetapi, mari kita renungkan baik-baik,dan coba lebih gunakan insight untuk melihat peluang yang mungkin timbul dari masalah besar ini daripada memperbesar masalah itu sendiri.

Kata orang bijak, bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang bisa melihat kesempatan dari setiap kesulitan. Pemenangnya adalah bangsa yang berani berselancar dalam gelombang ketidakpastian. Sedangkan bangsa yang selalu kalah adalah bangsa pengeluh yang hanya mau menjelajahi dunia yang pasti-pasti, lalu menyalahkan orang lain atas masalah yang ia buat. Bangsa yang demikian akan selalu kalah, dan pemimpinnya gemar melempar kesalahan pada orang lain.

Ketimbang mengatakan, "Saya yang salah." Mereka akan selalu mengatakan, "Itu bukan kesalahan saya." Sudah salah dan menyangkal, mereka pun mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Saya kira tulisan ini tidak dimaksudkan menghadirkan keluhan atau sikap pecundang. Insight dari Dapur Rumah Makan Sunda tempat saya biasa menikmati makan enak menunjukkan, ada sesuatu yang tak beres pada pangan-pangan kita.

Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang berupaya keras menghadirkan buah-buahan dan sayuran yang lebih besar dan lebih manis, saya justru menemukan pangan lokal yang sebaliknya. Kedelai impor semakin hari semakin bagus, sedangkan kedelai lokal semakin kuntet. Petai padi yang dulu besar-besar, kini semakin mengecil. Demikian juga dengan ikan pepes (ikan peda) yang dulu besar-besar, kini hanya daun pembungkusnya saja (daun pisang) yang besar.

Rasanya semua ini berlaku pada hampir semua panganan kita. Kue pisang juga semakin kerdil dan pisangnya sepat. Sekalipun makannya di hotel berbintang lima. Bakso yang dijajakan keliling juga semakin kecil, dan rasa dagingnya semakin tak terdeteksi lidah. Kata pemilik restoran bukan hanya ukuran yang mengecil. Keharumannya juga berkurang. Saya berbicara dengan para petambak ikan.

Mereka pun mengaku alam dan pakan sekarang sudah tidak bersahabat. Air dari sungai sudah rusak, pencemaran luar biasa ganas karena pabrik celana jins yang beroperasi tidak jauh dari tambak sering membuang limbah pewarna ke sungai. Ikan-ikan sulit menjadi besar. Di Waduk Jangari-Cirata saja, yang menjadi pusat ikan mas Jawa Barat, sudah dikepung oleh sampah. Lebih mengerikan lagi, harga pakan ikan pun sudah terlalu mencekik.

Maka supaya bisa tetap untung panen pun dipercepat. Itu pulalah yang tampaknya dilakukan petani (termasuk petai dan cabai), memanen hasil tanaman lebih cepat dari yang seharusnya agar bisa meraih untung. Apalagi akibatnya kalau bukan kuntet? Sementara di dunia internasional, perubahan iklim bisa mengubah peta suplai secara tiba-tiba. Kalau sudah begini, bangsa yang menang hanyalah bangsa yang proaktif.

Artinya, menanam jauh-jauh hari. Bukan seperti sekarang, ribut menanam kedelai pada ribuan hektare saat harganya sedang mahal. Lalu apa akibatnya dua tiga bulan lagi saat panen beramai-ramai? Insight ini menunjukkan, pertanian sudah tidak lagi menjadi sektor yang gurem. Pertanian justru akan menjadi sektor yang mengalahkan sektor-sektor lainnya. Apa artinya mempunyai emas kalau tak bisa mendapatkan makan?

Tetapi dalam masa transisi jelaslah suatu bangsa harus bisa menciptakan kondisi hasil investasi (internal rate of return) pada sektor pertanian yang positif. Saat ini saja dunia perbankan cenderung alergi pada sektor pertanian. Ini berarti diperlukan perubahan kebijakan agar petani mau kembali menjadi petani. Syaratnya, ya sederhana saja, berikan IRR yang positif dan besar.

Saya ingin menutup dengan insight lain dari para pedagang pangan. Bagi mereka, kenaikan harga adalah wajar, tetapi khusus mulai 2012, kenaikan pangan yang biasa terjadi bulan Ramadan kini bergerak jauh lebih cepat satu sampai dua bulan sebelumnya. Lebih jauh lagi, bila sebelum 2005 dari 365 hari berdagang mereka kalah sebanyak 80 hari (karena cost lebih besar dari price), sejak 2005 ke sini hari kekalahan terus membesar dan membesar.

Tahun ini telah menjadi 150 hari kalah. Masih positif sih.Tetapi, itu lampu kuning yang sebentar lagi menjadi merah. Artinya, ada masalah yang harus kita benahi bersama. Artinya, food kita sedang tidaksecure. Artinya, selain banyak masalah, ya banyak peluang.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

SUMBER : okezone.com